Bagaimana Seharusnya Ketika Kita Jatuh Hati?
Saya pernah mendengar nasihat yang sedemikian bijak:
Sebuah perjalanan mencari teman hidup hakikatnya seperti halnya ketika kita diberi kesempatan untuk mencari kayu di sebuah hutan, namun kita hanya diperbolehkan mengambil satu dalam sekali jalan, tidak boleh kembali. Oleh karenanya, sebelum menapakan kaki, kita perlu mengerti sebenar-benarnya kayu yang kita butuhkan: tujuannya, warnanya, jenisnya dan sebagainya. Kejelasan kriteria sangat penting, sehingga kita tidak buang-buang waktu, tidak kebingungan, juga tidak akan menyesal jika nantinya bertemu yang sekiranya “lebih menarik”. Sedang ketidakjelasan hanya akan mengantarkan kita pada ketidakpuasan, kekecewaan dan pengandaian-pengandaian yang tiada habisnya.
Perjalanan panjang merangkai kepingan demi kepingan tersebut benar-benar membentuk sebuah proyeksi sosok ideal di kepala saya, pembahasan mengenai hal itu saya tulis di sini.
Agar tulisan dapat lebih dimengerti, rasanya saya perlu menerangkan bahwa dalam kepala saya: ketertarikan, jatuh hati, rasa sayang adalah naluriah manusia, sedang segala keputusan kita untuk merespon perasaan tersebut adalah pilihan.
Saya meyakini perihal jatuh hati dalam konteks ini solusinya tidak ada yang lebih baik dari sebuah kepastian dan komitmen, juga hanya ada perihal ‘ya’ atau ‘tidak sama sekali’, tidak ada sebuah ruang abu-abu diantaranya, kecuali kita siap akan keresahan, ketidakpastian, ketidaktenangan hati yang bertubi-tubi dan tiada berujung. Jika kita belum siap akan komitmen dan penolakan, maka akan lebih baik jika kita menyerahkannya kembali (perasaan titipan tersebut) kepada Yang Menitipkan, singkatnya: berdoa. Kemudian menghilangkan segala trigger yang dapat memicu adanya perasaan tersebut serta menumpuk bagian dari memori kita dengan hal-hal yang lain, karena kita mustahil melupakannya begitu saja.

Sedikit banyak hal itu mempengaruhi bagaimana cara pandang saya mengenai bagaimana mengekspresikan sebuah perasaan. Alih-alih merasa ingin menciptakan banyak kebersamaan dan memberi makan perasaan tersebut, akan lebih baik justru ketika dalam kepala kita tidak ada memori kebersamaan sama sekali, bukan? Dengan begitu tidak akan ada ingatan ‘kebersamaan’ yang nantinya hanya akan memberatkan kepala dan pertanggungjawaban kelak, apalagi kalau ternyata sosoknya bukan yang tertulis untuk kita.
Sederhananya: definisi jatuh hati menurut saya pribadi adalah menjaga. Serta, entah di kepala saya seperti ada kalimat yang menunjam dalam:
Semakin mendekati sosok ‘kayu’ saya, idealnya semakin saya tidak ingin menyentuhnya (berinteraksi yang tidak penting) terlebih dahulu.
Kita tidak perlu khawatir mengenai apa-apa yang sudah digariskan. Mungkin setiap dari kita pun sebenarnya sudah menyadari bahwa jika sesuatu memang digariskan untuk kita, seberapapun jauhnya kita terpaut, pada saat yang tepat hal itu akan berpotongan dengan kita dititik dan waktu yang tepat. Di sisi lain, agar saya tetap waras dan objektif, saya selalu berprinsip:
Bahwa bukan mengenai fisik-tempat ditampungnya ruh, melainkan tentang ruh itu sendiri. Bukan pula mengenai kecenderungan seperti yang seringkali dikatakan orang-orang “saya menyukai, karena itu dirinya” (saya juga bukan tim menyukai seseorang tanpa alasan) alasan yang saya kutip bisa saja terjadi namun ada di tahap lebih lanjut, bukan ketika masih dalam langkah ‘menimbang-nimbang’ kecuali kita rela mengorbankan nilai-nilai yang tak seharusnya ‘untuk lebih mengenalnya’.
Juga hanya akan terjadi ketika kita sudah mengenal personanya sangat lama, bahkan informasi dari orang terdekatnya sekalipun tidak sepenuhnya valid sampai kita merasakan sendiri hidup bersamanya, bukan? Pada intinya kita tidak boleh merasa paling tahu atas seseorang, termasuk di dalamnya orang yang di mata kita terlihat sangat sempurna sekalipun.
Yang dapat kita amati dalam tahap ini hanyalah sebatas sinyal permukaan yang ada pada ruhnya: segala apa-apa yang menghidupi jiwanya; value; pemikirannya, prinsip, intelektual dan sebagainya yang tergambar dari apa-apa yang dilakukannya.
Andai kita sepakat bahwa landasan utama yang dijadikan penentu adalah ruhnya, maka bilamana itu ada pada fisik yang lain, seharusnya bukan menjadi masalah.
Sebagaimanapun orang terlihat sangat baik di mata kita, bukan berarti dia yang terbaik untuk kita. Maka tidak ada cara yang terbaik selain menyerahkan kembali urusan penilaian tersebut kepada Yang Maha Menilai. Hal itu akan menjadikan kita tidak arogan pada tinta yang sudah kering. Tentu, hati dan pikiran kita akan jauh lebih merdeka, sebab kita tak terpaku pada individu tertentu.
Originally published at https://www.tumblr.com.